Kamis, 05 Maret 2015

Sasando

Anda sudah tahu banyak apa itu musik sasando? Bagi masyarakat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, tempat asal usul musik sasando, musik tersebut sangat dikenal sebagai musik keseharian. Musik itu berbahan baku daun pohon lontar. Di Pulau Rote, pohon lontar pada saat ini bukan saja dijadikan sumber kehidupan karena menghasilkan tuak, sopi, gula lempeng, gula semut, wadah pembungkus tembakau/rokok, tikar, haik, sandal, topi, atap rumah, dan balok bahan bangunan, melainkan lebih dari itu dianggap punya nilai lebih karena daun pohon lontar makin sering dijadikan resonator musik yang dikenal dengan sebutan sasandu atau sasando.

Asal mula alat musik langka itu, menurut banyak tokoh adat di Pulau Rote, telah dikenali sejak Rote menjadi bagian dari daerah kerajaan. Dalam legenda memang muncul banyak versi mengenai sejarah munculnya sasando. Konon, awalnya adalah ketika seorang pemuda bernama Sangguana terdampar di Pulau Ndana saat pergi melaut. Ia dibawa oleh penduduk menghadap raja di istana. Selama tinggal di istana inilah bakat seni yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang hingga sang putri pun terpikat. Ia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah bentuk maupun suaranya.

Diilhami mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang ia beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya, Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan, dan Sangguana menjawab, "Sari Sandu". Alat musik itu pun ia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hitu yang artinya sekali dipetik tujuh dawai bergetar.

Keindahan bunyi sasando mampu menangkap dan mengekspresikan beraneka macam nuansa dan emosi. Karena itu, dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur, sasando adalah alat musik pengiring tari, penghibur keluarga saat berduka, menambah keceriaan saat bersukacita, serta sebagai hiburan pribadi. Kini musik sasando dikenal sebagai alat musik yang menghasilkan melodi terindah dari Pulau Rote.

Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi, tanpa chord (kunci), senar sasando harus dipetik dengan dua tangan, seperti harpa. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan memainkan accord. Ini menjadi keunikan sasando karena seseorang dapat menjadi melodi, bass, dan accord sekaligus.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Melingkar dari atas ke bawah tabung adalah ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) direntangkan dan bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Tabung sasando ini diletakkan dalam sebuah wadah setengah melingkar terbuat dari daun pohon gebang (semacam lontar) yang menjadi tempat resonansi sasando. Hingga kini, semua bahan yang dipakai untuk membuat sasando terbuat dari bahan alami, kecuali senar dari kawat halus.

Jenis-jenis sasando dibedakan dari jumlah senarnya, yaitu sasando engkel (dengan 28 dawai), sasando dobel (dengan 56 dawai, atau 84 dawai), sasando gong atau sasando haik, dan sasando biola. Karena itu, bunyi sasando sangat bervariasi. Hampir semua jenis musik bisa dimainkan dengan sasando, seperti musik tradisional, pop, slow rock, bahkan dangdut. Ada kalanya perbedaan pada cara permainan tipe sasando tertentu tergantung gaya permainan di tiap daerah, kemampuan pemain dan tidak adanya sistem notasi musik, khususnya untuk sasando gong.

Terdapat dua jenis ensembel sasando, yaitu yang terdapat di Pulau Rote, di mana sasando dimainkan untuk mengiringi nyanyian dan tabuhan gendang. Sedangkan di Pulau Sabu, dua buah sasando dimainkan bersamaan dengan iringan vokal, tetapi tanpa gendang. Dengan bentuknya dan bahan bakunya yang sederhana itu, tak aneh jika warga Australia dan Portugis setiap berkunjung ke NTT selalu membeli sasando. Musik itu kemudian menjadi musik kebanggaan di negerinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar