Anda sudah tahu banyak apa itu musik sasando? Bagi masyarakat Pulau
Rote, Nusa Tenggara Timur, tempat asal usul musik sasando, musik
tersebut sangat dikenal sebagai musik keseharian. Musik itu berbahan
baku daun pohon lontar. Di Pulau Rote, pohon lontar pada saat ini bukan
saja dijadikan sumber kehidupan karena menghasilkan tuak, sopi, gula
lempeng, gula semut, wadah pembungkus tembakau/rokok, tikar, haik,
sandal, topi, atap rumah, dan balok bahan bangunan, melainkan lebih dari
itu dianggap punya nilai lebih karena daun pohon lontar makin sering
dijadikan resonator musik yang dikenal dengan sebutan sasandu atau
sasando.
Asal mula alat musik langka itu, menurut banyak tokoh adat di Pulau
Rote, telah dikenali sejak Rote menjadi bagian dari daerah kerajaan.
Dalam legenda memang muncul banyak versi mengenai sejarah munculnya
sasando. Konon, awalnya adalah ketika seorang pemuda bernama Sangguana
terdampar di Pulau Ndana saat pergi melaut. Ia dibawa oleh penduduk
menghadap raja di istana. Selama tinggal di istana inilah bakat seni
yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang hingga sang putri
pun terpikat. Ia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum
pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat
musik yang indah bentuk maupun suaranya.
Diilhami mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang ia
beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya, Sang
Putri bertanya lagu apa yang dimainkan, dan Sangguana menjawab, "Sari
Sandu". Alat musik itu pun ia berikan kepada Sang Putri yang kemudian
menamakannya Depo Hitu yang artinya sekali dipetik tujuh dawai bergetar.
Keindahan bunyi sasando mampu menangkap dan mengekspresikan beraneka
macam nuansa dan emosi. Karena itu, dalam masyarakat Nusa Tenggara
Timur, sasando adalah alat musik pengiring tari, penghibur keluarga saat
berduka, menambah keceriaan saat bersukacita, serta sebagai hiburan
pribadi. Kini musik sasando dikenal sebagai alat musik yang menghasilkan
melodi terindah dari Pulau Rote.
Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya
seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi, tanpa chord (kunci), senar
sasando harus dipetik dengan dua tangan, seperti harpa. Tangan kiri
berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan memainkan
accord. Ini menjadi keunikan sasando karena seseorang dapat menjadi
melodi, bass, dan accord sekaligus.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat
dari bambu. Melingkar dari atas ke bawah tabung adalah ganjalan-ganjalan
di mana senar-senar (dawai-dawai) direntangkan dan bertumpu.
Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap
petikan senar. Tabung sasando ini diletakkan dalam sebuah wadah setengah
melingkar terbuat dari daun pohon gebang (semacam lontar) yang menjadi
tempat resonansi sasando. Hingga kini, semua bahan yang dipakai untuk
membuat sasando terbuat dari bahan alami, kecuali senar dari kawat
halus.
Jenis-jenis sasando dibedakan dari jumlah senarnya, yaitu sasando
engkel (dengan 28 dawai), sasando dobel (dengan 56 dawai, atau 84
dawai), sasando gong atau sasando haik, dan sasando biola. Karena itu,
bunyi sasando sangat bervariasi. Hampir semua jenis musik bisa dimainkan
dengan sasando, seperti musik tradisional, pop, slow rock, bahkan
dangdut. Ada kalanya perbedaan pada cara permainan tipe sasando tertentu
tergantung gaya permainan di tiap daerah, kemampuan pemain dan tidak
adanya sistem notasi musik, khususnya untuk sasando gong.
Terdapat dua jenis ensembel sasando, yaitu yang terdapat di Pulau
Rote, di mana sasando dimainkan untuk mengiringi nyanyian dan tabuhan
gendang. Sedangkan di Pulau Sabu, dua buah sasando dimainkan bersamaan
dengan iringan vokal, tetapi tanpa gendang. Dengan bentuknya dan bahan
bakunya yang sederhana itu, tak aneh jika warga Australia dan Portugis
setiap berkunjung ke NTT selalu membeli sasando. Musik itu kemudian
menjadi musik kebanggaan di negerinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar